Header Ads Widget 728X90

Jangan Tutup Mata, Saat Alam Menagih Janji Kita

Ir Azwar Hamid

Oleh: Ir. Azwar Hamid
(Ketua DPD PNTI Batu Bara)

Karyainspirasi, Ucup News.com

Berapa lama lagi kita akan menutup mata?, Berapa banyak lagi bencana harus terjadi sebelum kita mau mengakui bahwa semua ini bukan sekadar musibah alam, melainkan buah dari kesalahan kita sendiri?

Gunung - gunung yang dulu hijau kini berubah menjadi bukit gundul, hutan yang dulu menjadi nafas kehidupan kini hanya tinggal nama, pepohonan besar di dataran tinggi, yang selama ratusan tahun menjadi penyangga air, pelindung tanah, dan penjaga kehidupan, telah ditebang, dikuras, dan dikikis tanpa ampun.

Pembalakan liar bukan lagi isu, tetapi kenyataan pahit yang setiap hari kita saksikan, kayu yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem, justru berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan tanpa kendali, dan ketika pohon - pohon lenyap, akar - akar penahan tanah ikut hilang. 

Saat hujan turun, tanah tak lagi kokoh, air menghantam langsung permukaan bumi, menggerus sedikit demi sedikit, lalu membawa pergi apa pun yang dilaluinya.

Longsor, erosi, banjir bandang, itulah rangkaian bencana yang lahir dari pembiaran, rumah roboh, desa rusak, fasilitas umum terbenam lumpur, dan seperti biasa, rakyat kecil berada di garis paling depan menerima dampak yang tidak pernah mereka sebabkan.

Di pesisir, ceritanya sama saja, bahkan lebih menyayat hati.

Hutan mangrove dibabat, digusur untuk lahan bangunan dan industri, padahal mangrove adalah benteng terakhir yang menjaga pesisir dari amukan air laut, Ia bukan hanya pohon, tetapi rumah bagi ribuan biota laut, tempat bertelurnya ikan, dan penopang kehidupan nelayan kecil.

Terumbu karang yang menjadi surga bawah laut, hancur oleh kerakusan manusia, penggunaan alat tangkap brutal seperti pukat trawl, grandong, sondong, hingga tank kerang merusak dasar laut yang telah ribuan tahun membentuk ekosistemnya.

Dan ketika pasang besar (ROB/PERBANI) datang di saat curah hujan tinggi, pesisir tidak punya pertahanan, air masuk, menggenang, membawa kesedihan yang sama, nelayan kecil kembali menjadi korban.

Inilah kenyataan yang harus kita hadapi, dataran tinggi luluh lantak karena erosi, dataran rendah digerus habis oleh abrasi, alam menagih apa yang telah kita rusak.

Lalu kita bertanya, peraturan apa lagi yang kurang?

Sudah ada Perbup, sudah ada Pergub, sudah ada Kepres, tetapi apakah semuanya dilaksanakan? Atau hanya menjadi kertas yang dipajang untuk formalitas?

Siapa sebenarnya yang bersalah?
Siapa yang marah ketika alam dirusak?
Dan mengapa rakyat kecil yang selalu harus mengalah?

Pertanyaan -  pertanyaan ini akan terus menggantung jika pembiaran terus dilakukan, karena kerusakan lingkungan tidak pernah bekerja sendiri, Ia berproses pelan, menumpuk, lalu meledak dalam bentuk bencana.

Alam selalu memberi peringatan, tetapi manusia seringkali memilih mengabaikan.

Dan ketika peringatan itu berubah menjadi bencana, barulah kita sadar…
ini semua bukan kutukan, ini ulah manusia.  (***)

Posting Komentar

0 Komentar