![]() |
Sekretaris Komunitas Peduli (Kompi) Batu Bara, Muhammad Syafi. |
Batu Bara, Ucup News.com
Aksi unjuk rasa yang digelar salah satu kelompok di depan Gedung KPK, Jakarta, pada Rabu tanggal 30 Juli 2025 lalu, menuntut penyelidikan terhadap Bupati Batu Bara, Baharuddin Siagian, mendapat tanggapan kritis dari Komunitas Peduli (Kompi) Batu Bara.
Kompi menyebut aksi tersebut kehilangan relevansi karena dinilai hanya berdasar pada pemahaman sepihak atas laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Dinas Pemuda dan Olahraga Sumatera Utara (Dispora Sumut).
“Temuan BPK itu bersifat administratif dan sedang ditindaklanjuti sesuai prosedur. Tidak ada kerugian negara yang disimpulkan oleh BPK, hanya kelebihan bayar yang bersifat teknis,” ujar Sekretaris Kompi, Muhammad Syafi, dalam keterangannya, Jum'at, (1/7/25).
Menurut Syafi, publik perlu memahami perbedaan mendasar antara kesalahan teknis dalam pengelolaan anggaran dan tindak pidana korupsi yang membutuhkan alat bukti serta unsur kesengajaan.
Ia menilai, aksi - aksi seperti itu berpotensi menciptakan tafsir yang menyesatkan, bahkan merusak kredibilitas gerakan antikorupsi itu sendiri jika tidak disertai dengan pemahaman akademis dan prosedural.
“Kalau semua temuan BPK langsung dituding sebagai korupsi, itu bukan kritik itu delusi. BPK punya mekanisme koreksi internal. Penindakan pidana adalah wewenang KPK, kepolisian, dan kejaksaan, bukan para orator jalanan,” tegasnya.
Syafi juga menilai bahwa Baharuddin Siagian selama ini dikenal sebagai birokrat yang taat aturan dan belum pernah tersangkut kasus hukum.
“Kami tidak sedang membela orang, tapi membela logika. Kritik itu sah, tapi harus berdasarkan data dan hukum, bukan asumsi dan framing liar,” katanya.
Sebagai aktivis yang pernah melaporkan kasus korupsi di lingkup Dinas Pendidikan Batu Bara yang terbukti secara hukum, Syafi menegaskan dirinya memahami dengan baik bagaimana membedakan kritik substansial dan serangan tanpa dasar.
“Saya tahu persis mana yang substansi dan mana yang sekadar sensasi. Jangan sampai gerakan moral berubah menjadi gerakan emosional yang justru membahayakan demokrasi lokal,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menyampaikan kritik secara cerdas dan berbasis ilmu, agar tidak menyesatkan publik dan tidak menghambat agenda pembangunan daerah.
“Aspirasi tanpa ilmu bisa berujung pada kedengkian. Demokrasi butuh nalar, bukan hanya teriakan,” tutupnya. (Red).
0 Komentar